Artikel stemCell

CD34+ cells / Hemangioblast

CD34+ cells / Hemangioblast
Stemcell

Secara alamiah mahluk hidup telah dibekali dengan berbagai macam kemampuan untuk mempertahankan diri. Hal ini termasuk pula kemampuan dalam meregenerasikan bagian tubuh yang secara terus-menerus perlu diperbaharui, misalnya pada saat kulit terkelupas, sel-sel darah merah yang rusak. Tugas pembaharuan sel-sel ini diemban oleh sel punca (stem cell); oleh karena itu sel punca memiliki peran vital dalam perkembangan, pertumbuhan, kelangsungan, dan perbaikan semua jaringan yang hidup termasuk otak, tulang, otot, saraf, darah, kulit, dan organ lainnya.
Sel punca (stem cell) adalah suatu jenis sel yang terdapat di dalam tubuh mahluk hidup, termasuk juga manusia. Sel punca tidak mempunyai fungsi spesifik seperti sel pada umumnya, tetapi pada saat dibutuhkan, sel punca dapat mengalami perubahan menjadi sel yang terspesialisasi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses ini adalah berbagai mediator (termasuk juga sitokin dan faktor pertumbuhan) yang dilepaskan oleh sel pada saat mengalami kerusakan atau pada saat jaringan mengalami iskemi. Sel punca dapat bermigrasi menuju ke jaringan tertentu antara lain melalui dilepaskannya molekul SDF-1 oleh jaringan yang mengalami iskemi. Molekul SDF-1 merupakan homing factor yang merupakan ligan molekul CXCR4 yang terdapat pada permukaan sel punca.
Untuk dapat disebut sebagai sel punca, ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi yaitu: sel tersebut belum mempunyai fungsi, belum terdiferensiasi, memiliki kemampuan untuk terus membelah dan memperbanyak diri (berproliferasi) menjadi sel yang identik dengan sel asalnya atau dalam suasana yang sesuai dapat berubah (berdiferensiasi) menjadi sel tipe lain dengan fungsi yang spesifik. Sebetulnya, sel punca dapat dibedakan menjadi 2 kelompok utama, yaitu sel punca embrionik dan sel punca dewasa.
Sel punca embrionik merupakan sel hasil kultur Inner Cell Mass (ICM) yang berasal dari embrio stadium blastosit. Untuk mengisolasi ICM dari dalam kantung blastocoel, lapisan tropoblast perlu terlebih dahulu dilisiskan. Embrio yang utuh memiliki sifat totipoten yaitu dapat berkembang menjadi suatu individu baru, sedangkan sel punca embrionik disebut memiliki sifat pluripoten yaitu dapat berkembang menjadi sel yang berasal dari 3 galur (ektoderm, mesoderm, dan endoderm). Hal ini hingga saat ini masih membatasi penggunaan sel punca embrionik dalam transplantasi, yaitu kekhawatiran akan terbentuknya teratoma (keganasan yang terdiri dari berbagai tipe jaringan berasal dari galur ekto, meso dan endoderm).
Sel punca yang berada di dalam organ setelah individu dilahirkan, disebut sel punca dewasa. Sel punca tipe ini memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi sel tipe lain tergantung pada daerah tempatnya berada. Selain terdapat di dalam sumsum tulang dan dalam darah tepi, sel punca terdapat pada setiap bagian tubuh termasuk di dalam organ jantung, liver, ginjal, paru-paru, pulpa gigi, usus, lapisan lemak subkutis, bahkan otak. Namun untuk memperoleh sel punca dalam jumlah banyak, saat ini pengambilan sel punca masih tergantung pada sumber-sumber: (1) sumsum tulang, pada umumnya dilakukan aspirasi sumsum tulang pada bagian crista iliaca; (2) darah tepi (baik dengan pengambilan darah seperti pada proses donor darah, maupun dengan menggunakan alat apheresis; (3) darah tali pusat (diambil melalui v.umbilicalis di bagian tali pusat yang melekat pada plasenta setelah bayi dilahirkan; (4) lipoaspirat, limbah sisa liposuction. Di luar sumber-sumber di atas, telah banyak dilaporkan berbagai penelitian ilmiah menggunakan sel punca yang berasal dari sumber-sumber lain. Namun hingga kini, sumber-sumber lain tersebut hanya dapat memberikan sel punca dalam jumlah yang sangat terbatas. Sumber-sumber tersebut antara lain adalah: darah menstruasi, pulpa gigi, jaringan tulang rawan (cartilage), jaringan tulang keras (osseous), parenkim hepar, jaringan ventrikel jantung, dll.
Dibandingkan sel punca dari sumber lainnya, sel punca darah tali pusat memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan tersebut antara lain adalah pengambilannya yang tidak invasif (bahkan apabila tidak dimanfaatkan, darah tali pusat ini seringkali ikut terbuang bersama plasenta), pada penggunaan secara alogenik (donor dan resipien yang berbeda) risiko rejeksi sel punca darah tali pusat lebih rendah dibandingkan dengan sel punca sumsum tulang maupun darah tepi. Lebih lanjut, sel punca darah tali pusat juga dapat disimpan dengan teknik cryopreservation dalam bank darah tali pusat.
Berdasarkan tipe sel yang dihasilkan, sel punca dapat dikelompokan menjadi: sel punca hematopoetic, sel punca mesenchymal, sel punca progenitor (endotel, epitel, dll).
Sel punca hematopoetik dalam perkembangannya dapat menghasilkan sel pembentuk darah. Sel tipe hematopoetik merupakan tipe sel punca yang sejak lama telah digunakan dalam terapi keganasan darah (leukemia). Strategi terapi ini memungkinkan dilakukannya kemoterapi dosis tinggi yang dapat mengeliminasi sel abnormal (ablasi) pada penderita keganasan. Populasi sel yang `tereliminasi’ oleh kemoterapi akan digantikan oleh sel punca hematopoetik yang ditransplantasikan. Namun perlu diperhatikan bahwa selama populasi sel belum ter’gantikan’, pasien berada dalam kondisi yang sangat rentan untuk terkena infeksi sehingga diperlukan perawatan di fasilitas “isolasi terbalik” yang dapat menjamin kondisi yang aseptik. Saat ini fasilitas ruang “isolasi terbalik” masih jarang dimiliki oleh rumah sakit di Indonesia dan hal ini seringkali membuat biaya transplantasi sel punca menjadi sangat tinggi.
Sel punca hematopoetik memiliki molekul yang khas pada permukaan selnya, yaitu molekul glikoprotein CD34. Molekul penanda ini dapat digunakan sebagai sarana untuk menghitung jumlah sel punca hematopoetik yang berhasil diisolasi dari berbagai sumber di atas. Bahkan dalam penggunaannya dalam terapi keganasan, telah ditentukan jumlah CD34 yang direkomendasikan oleh ASBMT (American Society for Blood and Marrow Transplantation) dan ISCT (International Society for Cellular Therapy)engraftment dari sel yang ditransplantasikan diperlukan setidaknya 5 x 106 CD34+ cells/kg berat badan. Oleh karena itu, fasilitas laboratorium terpercaya yang dapat menghitung jumlah sel CD34+ (CD34 enumeration) menjadi mutlak diperlukan untuk transplantasi jenis ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, dilaporkan bahwa + 80% dari sel punca CD34+ juga mengekspresikan penanda CD133. Sel dalam populasi CD34+/CD133+ dikenal dengan sebutan hemangioblast yang dalam perkembangannya dapat berdiferensiasi menjadi turunan sel hematopoetik (heme) dan sel pembangun pembuluh darah (angio). Hal ini dipertegas dengan temuan Asahara et al yang melaporkan bahwa populasi sel tersebut merupakan sel tipe Endothelial Progenitor Cell/EPC. Lebih lanjut, EPC merupakan sel progenitor yang bertugas meregenerasikan sel endotel dalam pembuluh darah. Oleh karena itu, jumlah EPC dalam sirkulasi peredaran darah dilaporkan mengindikasikan besarnya risiko terjadinya artherosklerosis maupun kejadian
Sel punca mesenchymal merupakan tipe sel punca yang dalam perkembangannya dapat menghasilkan tendon, stroma sumsum tulang, tulang rawan, tulang keras, dan sel adiposa. Sel tipe ini memiliki sifat khas yaitu tidak memiliki molekul HLA kelas II, sedangkan HLA kelas I hanya diekspresikan dalam tingkat sangat rendah. Hal ini memungkinkan penggunaan sel punca mesenchymal secara alogenik tanpa perlu pencocokan HLA terlebih dahulu. Lebih lanjut, sel punca mesenchymal ini justru memiliki kemampuan untuk meningkatkan populasi sel T regulatory, yang bersifat mensupresi imunitas yang berlebih.
Dalam beberapa tahun terakhir telah dilaporkan penggunaan sel punca mesenchymal pada pasien dengan GVHD (Graft versus Host Disease) dan pasien autoimunitas. Mekanisme imunosupresi sel punca mesenchymal masih terus dipelajari, namun hingga saat ini diperkirakan bahwa sel punca
ini mampu menghasilkan beberapa mediator antara lain indoleamine 2,3,-dioxygenase dan Galectin-1 yang memiliki efek imunosupresi.
Saat ini sel punca telah dikembangkan sebagai terapi berbagai peyakit termasuk kelainan hematologi (leukemia, anemia, thalasemia, dst), penyakit degeneratif (gangguan pembuluh darah, infark jantung, penyembuhan luka), terapi kerusakan cartilage pada cedera sendi, Sel punca mesenchymal digunakan dalam metode pencegahan terjadinya graft vs host reaction
pada transplantasi allogenic, serta pemanfaatan sifat imunosupresi pada penderita penyakit autoimun.
sumber: cdk ;http://merumerume.wordpress.com/2010/03/01/stem-cell/

Dapatkah Sel Punca Dipakai untuk Kloning Manusia?

Dapatkah Sel Punca Dipakai untuk Kloning Manusia?
Kategori: Kesehatan – ID Number: 277251, Tanggal : 29-9-2010
Jakarta, Salah satu sumber sel punca (stem cell) adalah embrio manusia. Jika secara alami embrio bisa berkembang menjadi sesosok manusia, bisakah sel punca dikembangkan menjadi satu individu yang utuh juga?
Dalam diskusi media di Hotel Four Seasons, Kamis (23/9/2010), seorang pakar bioteknologi dari National University of Singapore, Prof Michael Raghunath mengungkap jenis-jenis sel punca yang bisa digunakan.
Salah satunya adalah totipoten, yang berasal dari kata total dan poten. Artinya, jenis sel punca ini punya potensi atau kemampuan untuk dikembangkan secara total menjadi jaringan apa saja dan bahkan menjadi sebuah individu utuh.
Sumber sel punca totipoten adalah embrio manusia, khususnya yang baru mengalami pembelahan menjadi 2 hingga 8 sel. Zygot (sel telur yang sudah dibuahi) hingga embrio berusia 2 hari merupakan contoh sumber sel punca totipoten.
Secara teori, sel ini bisa saja digunakan untuk menciptakan kloning manusia. Namun karena pertimbangan etis, pengembangan sel punca tidak pernah diarahkan untuk mengembangbiakkan manusia secara aseksual.
Dikutip dari Womens-health, pemanfaatan sel punca untuk pengobatan sebenarnya juga termasuk kloning dan digolongkan dalam kloning terapetik. Sedangkan penerapan kloning dengan tujuan reproduksi, hingga saat ini hanya terbatas pada hewan.
Kloning reproduktif pertama kali dilakukan tahun 1997 dan menghasilkan domba fenomenal bernama Dolly. Sejak itu kloning pada hewan tak terbendung lagi, bahkan pada 2008 FDA menyatakan susu dan daging dari sapi kloning aman untuk dikonsumsi.
Jenis sel punca yang lain
Jenis sel punca berikutnya yang banyak digunakan adalah pluripoten. Jenis ini bisa dikembangkan menjadi jaringan apa saja, meliputi jaringan luar (eksoderm), tengah (mesoderm) maupun dalam (endoderm) namun tidak bisa menjadi individu utuh.
Yang termasuk jenis sel punca pluripoten adalah embryonic stemcell, yakni sel punca yang berasal dari embrio. Bedanya dengan totipoten, pluripoten diperoleh dari embrio berusia minimal 6 hari atau telah mengalami pembelahan hingga lebih dari 8 sel.
Melalui teknologi terbaru Induced Pluripoten Stemcell (IPS), kini sel punca pluripoten tidak harus diperoleh dari embrio. Teknologi ini bisa membuat sel punca yang bukan pluripoten agar bisa dikembangkan menjadi jaringan apa saja.
Jenis sel punca yang hanya bisa dikembangkan menjadi berbagai jenis sel yang sejenis adalah multipoten. Contohnya adalah hematopoietic stem cell yang hanya bisa dikembangkan menjadi berbagai jenis sel darah.
Terakhir, jenis sel punca yang hanya bisa dikembangkan menjadi 1 jenis sel tertentu adalah unipoten. Hampir sama dengan sel pada umumnya, namun memiliki kemampuan untuk menggandakan diri (self-regenerate).


Dokter Jerman Sembuhkan Pasien HIV Secara Tak Terduga

Kamis, 16/12/2010 09:51 WIB
Dokter Jerman Sembuhkan Pasien HIV Secara Tak Terduga
foto: Thinkstock
Berlin, Awalnya dokter melakukan cangkok (transplantasi) stem cell (tunas sel induk) ke pasien untuk mengobati kanker darah (leukemia). Tapi secara tak terduga cangkok ke pasien yang juga mengidap HIV itu malah menyembuhkan penyakit HIV-nya.
Virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) hilang setelah dilakukan pencangkokan stem cell untuk mengobati leukimia yang juga diderita si pasien.
Pasien asal Amerika Serikat yang tidak disebutkan namanya itu mendapat transplantasi atau cangkok stem cell pada tahun 2007. Pencangkokan dilakukan bukan untuk mengobati HIV melainkan leukemia myeloid akut yang kebetulan juga ia derita.
Stem cell yang dicangkokkan berasal dari donor yang mengalami mutasi gen sehingga dapat melawan HIV. Terbukti dalam 3 tahun setelah pencangkokan, HIV sudah tidak lagi ditemukan dalam cairan tubuh pasien berusia 40 tahun itu.
Lenyapnya virus mematikan ini dari tubuh si pasien sebenarnya sudah diketahui sejak tahun 2009. Namun baru dipublikasikan tahun ini dalam jurnal Blood, setelah hasil pengamatan lanjutan menunjukkan tidak ada kekambuhan meski terapi Antiretroviral (ARV) sudah dihentikan sama sekali.
Namun para peneliti yang berasal dari University Medicine Berlin mengingatkan bahwa mutasi gen seperti ini sangat langka karena hanya dialami oleh 1 di antara 1 juta donor stem cell. Karena itu belum ada jaminan untuk mengembangkannya sebagai terapi standar bagi pengobatan HIV.
Apalagi prosedur pencangkokkan ini tidak sesederhana yang dibayangkan karena didahului dengan kemoterapi dan radiasi yang sangat intensif. Selain itu, kegagalan dalam prosedur ini bisa meningkatkan risiko kematian pada pasien hingga 30 persen.
“Saya menyebutnya perawatan fungsional, sebuah pencapaian yang sangat perlu diperhitungkan. Namun apakah bisa diterapkan pada semua pasien HIV? Jawabnya tidak,” ungkap pakar dari University of Miami, Dr Margaret Fischl seperti dikutip dari Healthday (16/12/2010).
Penyakit HIV hingga saat ini adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Obat-obatan yang diberikan seperti ARV hanya untuk memperlambat kematian.

sumber ; Rudy , Bekasi ,rudy.kasbogor@yahoo.com.
http://www.detikhealth.com/read/2010/12/16/095159/1526055/763/dokter-jerman-sembuhkan-pasien-hiv-secara-tak-terduga



Sel Punca Diuji pada Pasien Stroke ,Kompas.com

Sel Punca Diuji pada Pasien Stroke
Rabu, 17 November 2010 | 10:45 WIB
Kompas.com

Seorang pasien stroke asal Inggris mendapat suntikan dua juta sel punca saraf untuk memperbaiki sel-sel otak yang mati. Uji coba yang pertama kali di dunia ini diharapkan membantu pasien itu sembuh dari stroke dengan cara merangsang otak menggunakan sel saraf yang matang.
Metode tersebut dianggap kontroversial karena menggunakan sel punca (stem cell) yang dikembangkan di laboratorium yang diambil dari calon otak janin manusia berusia 12 minggu.
Sel punca adalah sel master dalam tubuh manusia yang bisa mengubah dirinya menjadi berbagai jenis sel yang matang.
Laruence Dunn, ahli bedah saraf, berhasil menyuntikkan sel punca pada pasien stroke pertama sejak metode sel punca embrionik ini diizinkan.
“Pada percobaan ini kami mencari tahu keamanan dan kemungkinan implantansi sel punca di mana pasti dibutuhkan tindak lanjut secara cermat pada pasien,” kata Profesor Keith Muir, ahli saraf dari Glasgow University, Inggris.
Ia menambahkan, sebagian sel punca saraf yang diinjeksi tersebut secara otomatis akan mengubah dirinya menjadi saraf. Seperti diketahui, sel-sel otak pasien stroke mati karena kekurangan oksigen. Perkembangan terapi ini akan dimonitor selama dua tahun.
Dalam uji coba pada tikus percobaan diketahui, sel punca juga memicu berbagai proses perbaikan pada tubuh, seperti membantu pertumbuhan pembuluh darah di otak yang baru serta memacu otak untuk menumbuhkan populasi sel punca sendiri.
Percobaan sel punca pada tikus percobaan telah dilakukan sejak 10 tahun lalu oleh ilmuwan dari Albert Einstein College of Medicine, Amerika Serikat. Dalam riset tersebut, para ahli berhasil mengatasi kerusakan akibat stroke pada otak tikus yang disuntikkan sel punca.
Dalam tempo enam minggu, sel punca itu tumbuh menjadi sel saraf yang matang sekaligus membuktikan kemungkinan dilakukannya metode itu pada mamalia.
Hingga tahun 2011 mendatang, sudah 13 pasien yang terlibat dalam uji coba ini akan mendapatkan injeksi sel punca dengan dosis yang ditingkatkan. “Dosisnya akan ditingkatkan hingga 20 juta sel,” kata Muir.
Seluruh pasien yang terlibat rata-rata berusia di atas 60 tahun dan berjenis kelamin pria. Mereka mengalami stroke iskemik, terjadi akibat penyumbatan pembuluh darah ke otak, dan tidak berhasil dalam menjalani terapi pengobatan.

http://health.kompas.com/index.php/read/2010/11/17/10454085/Sel.Punca.Diuji.pada.Pasien.Stroke-12



Sel Punca Untuk Transplantasi Ginjal

Sel Punca Untuk Transplantasi Ginjal (19-Feb-2008) Oleh: DHS
Kalbe.co.id – Setelah dilakukannya prosedur transplantasi, biasanya pasien diberikan obat anti penolakan tubuh atau yang juga dikenal dengan imunosupresan. Akan tetapi pemberian imunosupresan juga memiliki berbagai risiko serius seperti kemungkinannya terkena infeksi, kelainan jantung dan keganasan, dan lain sebagainya. Suatu penelitian baru yang menjajaki aplikasi sel-sel punca (stem cells) untuk kasus transplantasi, saat ini dilakukan oleh tim yang diketuai oleh Dokter Joshua Miller dari University’s Feinberg School of Medicine. Sel punca dari sumsum tulang donor ditransplantasikan ke resipien penerima cangkok ginjal dengan harapan secara bertahap dapat mengeliminasi kebutuhan obat imunosupresan, dan jika penelitian ini sukses akan membawa perubahan besar pada perbaikan kualitas hidup pasien pasca transplantasi.
Sel punca dibentuk oleh sumsum tulang , dengan mencangkok sel jenis ini dari ginjal donor ke resipien maka diharapkan bahwa sel punca ini akan menjadi matang dalam tubuh resipien dan membuat sistem imun resipien dapat menerima organ yang dicangkokkan ke dalam tubuhnya.
Untuk ginjal pendonor, operasi dengan laparoskopi dilakukan seperti prosedur standar, setelah ginjal dipindahkan, sumsum tulang (yang mengandung sel punca) selanjutnya segera diambil dari tulang panggul donor (prosedur ini dinamakan leukoporesis). Setelah 3 bulan operasi dilakukan, pendonor selanjutnya melakukan 2 prosedur leukoporesis lagi, yang dilakukan berselang satu hari dimana sel punca dari sumsum tulang diambil dan diberikan ke ginjal resipien untuk membantu tubuhnya dalam menyesuaikan diri dengan organ yang ditransplantasikan.
Sekitar satu bulan sebelum prosedur transplantasi, resipien juga menjalani prosedur leukoporesis untuk diambil sel darah putihnya yang selanjutnya disimpan untuk pemeriksaan laboratorium. Setelah prosedur transplantasi , resipien menerima 4 episode infus sel punca dari donor.
Sel punca ini diinfus ke resipien secara intravena dalam waktu sekitar 15 menit. Infus pertama diberikan dalam 5 hari setelah operasi, selanjutnya diberikan 3 bulan, 6 bulan dan 9 bulan kemudian. Dalam kurun waktu tersebut resipien diterapi dengan Campath-1H, suatu antibodi poten yang digunakan untuk mencegah episode rejeksi akut, sebagai tambahan terhadap obat imunosupresan standar. Setahun setelahnya secara bertahap mengeliminasi satu persatu obat imunosupresannya sambil dipantau untuk memastikan resipien dapat mentoleransi ginjal cangkokannya.
Subjek pertama yang berpartispasi untuk melakukan prosedur ini adalah Sharon Flood yang mendonasikan ginjalnya untuk saudara kandungnya Steven Yelk yang menderita penyakit ginjal polikistik. Prosedur operasi transplantasi dilakukan oleh Dokter Joseph Leventhal dan Dokter Michael Abecassis keduanya dari University’s Feinberg School of Medicine. Operasi berlangsung sukses, dan dari sini resipien akan memulai studi pemberian sel punca.
Penelitian ini terbatas hanya pada HLA-identik dari saudara kandung karena saudara kandung biasanya memiliki kesamaan lebih banyak untuk petanda imunnya, sehingga kemungkinan sukses lebih besar.
sumber ; http://www.kalbe.co.id/?mn=news&tipe=detail&detail=19395


Stem Cell Sembuhkan Kerusakan Mata

Stem Cell Sembuhkan Kerusakan Mata
Selasa, 29 Juni 2010 – 09:30 wib
Dunia kedokteran terus melakukan penelitian untuk memaksimalkan penggunaan sel punca untuk pengobatan.
DUNIA kedokteran kembali menemukan teknik terbaru stem cell bagi penderita kerusakan mata akibat terkena bahan kimia berbahaya.
Terapi terbaru ini tentu saja membuat harapan baru bagi mereka dengan yang memiliki penglihatan tidak sempurna Ada harapan baru bagi mereka yang menderita kerusakan mata karena terkena bahan kimia. Peneliti dari Italia melaporkan pada Rabu (23/6) bahwa puluhan orang yang buta atau menderita kerusakan mata akibat terciprat bahan kimia berbahaya ternyata dapat melihat kembali atau sembuh setelah dilakukan operasi transplantasi stem cell (sel induk/sel punca) dari tubuh mereka sendiri.
Hal ini merupakan salah satu kesuksesan terbesar yang menakjubkan untuk bidang terapi sel yang sedang berkembang ini. Operasi dilakukan pada 82 dari 107 mata penderita. Sebagian dari mereka, yaitu 14 orang di antaranya, sejauh ini dapat bertahan hingga satu dekade. Satu orang pasien malah telah mengalami kerusakan mata berat lebih dari 60 tahun, namun kini memiliki penglihatan mendekati normal.
“Ini adalah keberhasilan yang menakjubkan,” kata ahli mata Dr Ivan Schwab dari University of California, Davis, Amerika Serikat, seperti dikutip Associated Press. Dia menyebutkan, penelitian ini sebagai temuan yang terlama dan terbesar sepanjang sejarah dibanding studi terkait kesehatan mata lainnya.
Diketahui, transplantasi stem cell menawarkan harapan hidup kepada ribuan orang di seluruh dunia setiap tahun yang menderita luka bakar akibat bahan kimia pada kornea mereka yang berasal dari cairan pembersih lantai atau bahan lainnya di tempat kerja atau di rumah.
Namun, terapi ini tidak akan membantu orang dengan kerusakan saraf optik atau degenerasi makula, yang melibatkan retina. Juga tidak akan bekerja pada orang yang benar-benar buta pada kedua matanya karena para dokter memerlukan setidaknya beberapa jaringan mata yang sehat untuk menjalankan operasi transplantasi.
Dalam studi yang diterbitkan online oleh New England Journal of Medicine ini, peneliti mengambil sejumlah kecil stem cell dari mata sehat pasien, digandakan di laboratorium, lalu mulai dicangkokkan ke dalam mata yang terbakar. Nantinya, akan tumbuh jaringan kornea baru untuk menggantikan sel yang telah rusak. Karena stem cell dari tubuh mereka sendiri, pasien tidak perlu mengonsumsi obat anti-penolakan.
Stem cell orang dewasa telah digunakan selama puluhan tahun untuk mengobati kanker darah seperti leukemia dan penyakit sel sabit seperti anemia. Namun, memperbaiki masalah seperti kerusakan mata termasuk teknik yang relatif baru.
Peneliti telah mempelajari terapi sel bagi berbagai penyakit lainnya, termasuk diabetes dan gagal jantung, dengan sukses yang masih terbatas.
Saat ini orang-orang dengan luka bakar mata bisa mendapatkan kornea buatan. Prosedur yang diketahui membawa komplikasi lain seperti infeksi dan glaukoma atau mereka dapat menerima transplantasi menggunakan stem cell dari mayat.
Peneliti Italia melibatkan 106 pasien yang diobati antara 1998 dan 2007. Sebagian besar kerusakan terjadi di satu mata dan beberapa memiliki penglihatan yang terbatas di mana mereka hanya bisa sedikit melihat cahaya, menghitung jari, atau melihat gerakan tangan. Banyak di antara mereka sudah buta selama bertahun-tahun dan harus gagal melakukan operasi untuk memulihkan penglihatan mereka.
Operasi sel ini menggunakan sel dari limbus, pinggiran di sekitar kornea, yang merupakan sebuah “jendela jernih” yang menutupi bagian berwarna dari mata. Pada mata normal, stem cell dalam limbus seperti pabrik, memutar terus di antara sel-sel baru untuk menggantikan sel-sel kornea yang mati. Ketika cedera mengganggu sel induk dan membentuk jaringan parut di kornea, maka akan mengaburkan penglihatan dan menyebabkan kebutaan.
Dalam penelitian di Italia ini, dokter mengeluarkan jaringan parut di kornea lalu menaruh stem cell yang telah digandakan di laboratorium di atas mata yang terluka. Dalam kasus di mana kedua mata rusak akibat luka bakar, sel diambil dari bagian yang paling penting dari limbus.
Para peneliti terus mengontrol pasien selama rata-rata tiga tahun hingga beberapa dekade. Lebih dari tiga perempat dari mereka kembali melihat seperti sedia kala setelah dilakukan transplantasi. Sekitar 13 persen dianggap sukses menjalankan perawatan secara menyeluruh. Meskipun penglihatan mereka meningkat, mereka masih menderita kegelapan di kornea. Pasien dengan kerusakan yang ringan dapat langsung melihat dalam waktu satu sampai dua bulan. Mereka yang cedera lebih parah dapat membaik beberapa bulan lagi.
“Mereka sangat bahagia. Ada yang mengatakan itu adalah keajaiban,” kata salah satu pemimpin studi, Graziella Pellegrini, dari University of Modena Center for Regenerative Medicine di Italia. “Itu bukan mukjizat. Itu hanya teknik,” lanjutnya.
Penelitian ini sendiri sebagian didanai oleh pemerintah Italia. Sementara itu, para peneliti di Amerika Serikat telah menguji dengan cara yang berbeda untuk menggunakan stem cell dari pasien sendiri, tetapi itu masih pekerjaan pekerjaan tahap awal.

http://lifestyle.okezone.com/read/2010/06/29/27/347655/search.html



Transplantasi Stems Cell Sembuhkan AIDS

Timothy Ray Brown, yang dikenal juga dengan julukan “Berlin Patient” diyakini tim dokter telah sembuh dari derita penyakit AIDS setelah sebelumnya menerima transplantasi pada tahun 2007 sebagai bagian dari program pengobatan panjang untuk leukemia.
Dr. Michael Saag, Ketua HIV Medical Association mengatakan, “ini merupakan bukti-menarik konsep bahwa dengan langkah-langkah cantik luar biasa seorang pasien bisa disembuhkan dari HIV,” tetapi terlalu riskan untuk menjadi terapi standar bahkan jika donor yang cocok dapat ditemukan.”
Timothy Ray Brown
Pasien berkewarganegaraan Amerika Serikat yang tinggal di Jerman ini sebelumnya telah terinfeksi AIDS selama bertahun-tahun, setelah tim dokter memantau dan yakin hingga menuliskan dalam jurnal laporannya bahwa telah melakukan pencapaian kesembuhan dari pasien HIV-AIDS setelah melakukan pengujian yang ekstensif. Kini Brown tidak lagi memiliki tanda-tanda virus AIDS atau Leukimia.
Meski perkembangan tidak berarti membuktikan obat untuk virus telah ditemukan, mereka pasti bisa memberi harapan bagi lebih dari 33 juta orang yang hidup dengan HIV di seluruh dunia.
Apa Itu Stem-Cell?
Dr. Michael Saag, Ketua HIV Medical Association
Dalam bahasa Indonesia, stem cell disebut sel punca atau sel induk. Ringkasnya, stem cell adalah sel yang masih belum matang dan belum berdiferensiasi (berubah) menjadi sel atau jaringan tertentu. Nantinya sel ini dapat bereplikasi menjadi sel yang serupa atau menjadi sel lain yang sama sekali berbeda.
Dalam bahasa kedokteran, stem cell dapat berupa sel unipoten (hanya dapat berubah menjadi satu jenis sel), multipoten (dapat berubah menjadi beberapa jenis sel), atau totipoten (dapat berubah menjadi jaringan apapun). Dengan kemampuan inilah stem cell diyakini dapat menyembuhkan sel-sel tubuh yang rusak atau hilang karena penyakit yang berat, dengan cara beregenerasi menjadi organ atau jaringan yang rusak tersebut.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Dr. dr. Fachmi Idris, kemampuan individual para dokter Indonesia dalam teknologi (stem cell) adalah yang paling maju di Asia. Ia juga menambahkan bahwa teknologi dan sarana kesehatan di Indonesia sudah sangat memadai untuk menangani tindakan medis, termasuk untuk melakukan pengobatan dengan terapi stem cell.
Seperti yang diberitakan oleh harian Kompas Oktober lalu, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PABDI) berhasil mengembangkan penggunaan sel punca (stem cell) yang diambil dari sumsum tulang belakang untuk mengobati pasien serangan jantung. Menurut pakar jantung PABDI Prof. dr. Teguh Santoso, PABDI telah berhasil mengobati 15 pasien penyakit jantung di RSCM dan RS Kanker Dharmais dengan menggunakan stem cell dan menuai keberhasilan.
Pada bulan Februari lalu telah diresmikan Asosiasi Sel Punca Indonesia di Jakarta. Dengan adanya wadah resmi ini, diharapkan Indonesia akan semakin maju dan terus menerus mengembangkan terapi stem cell serta terus melakukan eksperimen di bidang ini. Meski masih diliputi pro dan kontra, harus diakui bahwa terapi stem cell adalah harapan di masa depan bagi banyak orang.[](DA)

http://www.klikdokter.com/healthnewstopics/read/2010/12/15/15031167/transplantasi-stems-cell–sembuhkan-aids


Contact Saya :

081328111127
085814701003
087886110007
(021) 93476379